Unggahan Lapor Diri

Oleh WAKHUDIN

(Dosen Ilmu Komunikasi FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia)

 

PEMILIHAN Gubernur dan calon Gubernur Jawa Barat 2013 tak ubahnya panggung hiburan. Full entertainment. Dari lima pasangan calon, tiga pasang di antaranya artis. Paling pertama mendaftar Rieke Diah Pitaloka yang di panggung hiburan dikenal dengan Oneng. Ia berpasangan dengan Teten Masduki.  Gubernur incumbent Ahmad Heryawan juga memilih berpasangan dengan artis, Dedy Mizwar. Dede Yusuf yang berpasangan dengan Lex Laksmana juga seorang artis, meskipun sudah malang melintang di dunia politik. Hanya dua pasang yang bukan artis, yaitu Irianto M.S. Syafiudin yang berpasangan dengan Tatang Farhanul Hakim dan Dikdik Muliana Arief Mansur yang berpasangan dengan Cecep Nana Suryana Toyib.

Fenomena ikut sertanya entertainer dalam panggung politik menggambarkan semakin pragmatisnya dunia politik di tanah air. Memenangi pemilu memang membutuhkan popularitas. Maka supaya menang dalam pilkada, stakeholders di bidang politik langsung mencomot orang yang populair yang biasanya bejibun di panggung hiburan. Pada kenyataannya, menyertakan artis dalam pemilihan umum sangat efektif dalam mendulang suara. Itulah sebabnya, artis semakin laris manis di panggung politik. Soal kinerja pun hampir tidak ada bedanya. Toh pemimpin bisa didampingi birokrat kawakan dan para ahli. Sukses tidaknya memimpin bergantung dari kemampuan memilih yang terbaik dari para stafnya.

Masuknya artis panggung hiburan dalam dunia politik dan efektifnya mereka sebagai  pendulang suara sekaligus menggambarkan bahwa hiburan kini menjadi panglima bagi bangsa Indonesia. Apa pun problem yang dihadapi bangsa, maka hiburan jawabannya. Masyarakat yang sedang memiliki rasa suka, duka, sedih dan bahagia, mungkin tepat mendapatkan solusi hiburan. Tapi problem yang berkaitan dengan semakin sempitnya lapangan kerja, semakin mahalnya biaya pendidikan, tata kota yang semrawut, disparitas antara si kaya dan si miskin dengan si kaya, problem berkaitan dengan ketahanan dan keamanan, apakah juga akan diselesaikan dengan hiburan?

Penulis tidak mengatakan bahwa para artis tidak akan mampu memimpin. Tapi persoalan bangsa dan negara sebaiknya dipegang orang yang tepat, yaitu politikus sekaligus negarawan. Problemnya, para politikus kerap lebih pragmatis dan tidak memiliki jiwa kenegarawanan. Mereka lebih suka mengambil jalan pintas dalam mencapai kekuasaan, ketimbang membangun sistem yang baku. Partai politik yang mestinya menjadi wadah dan akses  ke kekuasaan tak berbeda dengan pasar bertransaksi kekuasaan dan jual beli politik. Ideologi  yang lazim menjadi ruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tak lagi berbekas.

Maka pada saat sistem politik berjalan tidak normal, bisa jadi, artis lebih baik dalam memimpin bangsa ketimbang politikus, manakala jiwa dan hatinya diwakafkan untuk bangsa dan negara. Dalam kondisi sistem politik tak berfungsi dengan baik seperti itu, politikus lebih tahu secara teknis dan taktis bagaimana mengumpulkan kekuasaan di tangannya untuk kepentingan diri sendiri  dan kelompoknya ketimbang berpolitik untuk bangsa dan negara. Tapi, sebaik-baik perkara adalah yang proporsional. Artinya, politikus adalah orang yang bekerja di bidang politik. Maka yang paling proporsional memimpin bangsa adalah politikus, tapi harus total dan berjiwa negarawan, bukan sekadar berdagang di dunia politik.

Memangnya para penghibur dilarang terjun ke dunia politik? Tak ada konstitusi yang melarang mereka. Politik adalah wilayah terbuka yang bisa dimasuki siapa pun. Setiap warga negara mempunyai hak masuk ke dalam dunia politik, baik melalui partai politik maupun jalur lain yang memungkinkannya. Namun, Indonesia harus mulai belajar tertib. Politik merupakan wilayah yang amat sangat strategis dan penting, karena menyangkut masa depan kehidupan bangsa dan negara. Di tangan mereka lah arah kehidupan negeri ini ditentukan. Maka, ketika politik dipegang tokoh yang tidak proporsional, arah kehidupan bangsa tidak lurus.

Para penghibur, biarkankan bekerja total dengan mengibur rakyat di panggung hiburan. Sementara dunia politik sebaiknya diurus para politikus. Demikian pun persoalan ekonomi, biarkan diurus ekonom, soal agama diurus agamawan dan kiai, dan seterusnya. Saat hiburan menjadi panglima, maka para penghibur memasuki setiap relung kehidupan dengan tidak proporsional. Semua persoalan, dari masalah sajadah hingga haram jadah dikomentari mereka, meskipun tidak menguasai materinya. Apalagi, ucapan para selebritis saat ini lebih diikuti ketimbang ucapan para moralis dan pemegang otoritas di bidang keagamaan. Maka, kehidupan hedonistis semakin mewarnai kehidupan bangsa.

Bahwa kondisi kita karut marut, ya. Misalnya, artis dan ekonom justru memegang kendali politik, sementara politikus justru sibuk “berdagang”. Namun bukan berarti kita berhenti sampai di sini. Akademisi dan para pengambil keputusan perlu mulai meluruskan kehidupan yang tidak linear ini. Kehidupan harus mulai berjalan normal. Kalaupun sekarang belum normal, setidaknya, para artis yang terjun di bidang politik perlu mendedikasikan hidupnya untuk politik dan negara secara total. Jadilah negarawan, bukan sekadar petualang politik, apalagi sekadar calo politik yang menjadi boneka para petualang yang mengail di air keruh.

Kembalikan kehidupan pada relnya masing-masing. Politik yang dimasuki segala macam jenis orang dan profesi telah tercemar menjadi lembaga yang terkesan kotor, menghalalkan segala cara, brengsek, dan berbagai stigma buruk yang lain. Padahal, politik adalah mulia, seperti bidang lain yang memungkinkan bagi pelakunya untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa.  Saatnya bangsa Indonesia melakukan purifikasi, agar tidak sembarang orang masuk ke wilayah ini. Hanya negarawan dan bersikap mulia yang pantas memasukinya.*** ( Dimuat di HU Pikiran Rakyat Bandung, Senin, 19 November 20012)

sumber

Scroll to Top