Bukan soal iya dan tidak, melainkan tentang rasa dan makna. Satu nama berbeda cita rasa dan beragam makna. Satu nama berbeda pengalaman dengan cerita yang berlainan. Tak peduli dari mana Ia berasal, namanya kan tetap sama. Meski terkadang tempat asal boleh saja sama, namun punya rasa berbeda. Ya, dialah Kopi yang menggambarkan sebuah persepsi.

Diolah dengan berbagai cara, hingga dinikmati berbagai jiwa. Manual brew, salah satu metode olahan, agar penikmat mampu merasakan kekhasannya. Tanpa mesin listrik, biji kopi berkualitas digiling mendadak tatkala hendak menyeduhnya.

Kecintaan terhadap hasil olahan metode manual brew memunculkan suatu wadah yaitu MBC, Manual Brew Community. Menghimpun siapa saja yang cinta dan  suka terhadap metode menyeduh kopi ini.

2015 menjadi tahun Bandung Brewers Cup pertama digelar. Kompetisi manual brew bagi pecintanya dan sebuah awal dimana MBC tercipta. MBC selalu membuka pintu bagi siapa saja yang ingin masuk, sehingga berapa banyak anggota bukan lah hal yang utama.

Jumlahnya tak terdata, yang pasti terdiri dari puluhan pasang mata. Kaum muda menjadi bagian besar yang terlibat langsung dalam setiap perjalanannya. Mereka berkumpul kala ada suatu acara atau sekedar berjelajah, mencicipi setiap rasa kopi dari kedai yang dikunjungi.

Sebuah tubuh tak akan berjalan tanpa kepala, sama halnya dengan MBC. Heri Wibowo beserta lima belas orang pengurus inti menjadi hulunya saat ini. Bandung Brewers Cup menjadi agenda besar yang rutin digelar setiap tahunnya. Lengkap pula dengan event lain, mulai dari workshop, diskusi, hingga charity.

Setiap program yang ada tak lain adalah sarana penyampai wawasan soal kopi. Masyarakat yang mulanya awam, kan menjadi paham. Tak sepenuhnya tentang cita rasa dan arti, tapi juga berkaitan dengan materi. Setiap teguk yang kita beli pun mampu menjadi ladang nafkah setiap pelaku di industri ini, termasuk sang petani.

MBC tak mengincar kedai mewah, tapi memburu pengalaman yang bisa menjadi berkah. Kedai kecil tak menjadi masalah, selama memberi warna dan rasa yang melimpah. Indonesia bisa dibilang negeri penghasil kopi yang mempuni. Sebuah asas  pemilihan kopi sebagai inti terciptanya komunitas ini. Tak hanya soal rasa dan makna, manfaat yang terkandung juga menjadi nilai lebih yang dimiliki kopi.

Berbeda kopi, berbeda penikmat, berbeda pula makna yang tersemat. Firman Gustiana menjadi salah satu penyuka kopi manual brew yang tergabung dalam MBC, sekaligus pengurus inti. Awalnya hanya penikmat, lalu beranjak jadi pembuat. Barista, menjadi profesi sekaligus penyalur hobi hingga tercipta kedai pribadi. Baginya, kopi tak sekedar dinikmati, tapi juga diresapi.

Kopi memberinya pelajaran dalam memaknai setiap kejadian. Kopi membuatnya sadar bahwa hidup tak selalu tentang salah dan benar. Kehidupan tak selamanya harus dalam persamaan. Tapi hidup tercipta dari rasa berbeda dengan saling menghargai sebagai kuncinya.

Kopi Gambung, salah satu jenis kopi yang memberinya makna mendalam. Tertanam ikatan personal dengan kopi lokal asal Ciwidey ini. Kopi yang menghantarkannya masuk dua belas besar dalam ajang kompetisi Brewers nasional. Adapun kopi lain yang memberikan kesan khusus ialah kopi Gayo, sekali dicicipi tapi rasanya tak pernah pergi. Tetap teringat dan melekat setiap tegukan nikmat rasa kopi sumatera ini.

Ada yang alami, maka ada pula yang buatan, kopi asli atau kopi dengan bahan tambahan.  Beda rasa beda selera, sehingga sah-sah saja jika meminum kopi sachetan. Karena beda suasana, beda pula kopinya. Beda kondisi menyebabkan perbedaan kopi yang hendak dicicipi.

Jika tengah terdesak, tak jarang kopi instan menjadi pilihan. Itulah kopi, tak pernah ada habisnya walau telah berganti masa. Inovasi lahir bukan untuk mengganti cita rasa asli, melainkan menambah menu tergantung apa yang kita mau. Begitu pun yg dirasakan Firman “Ya, saya suka cita rasa kopi yang asli tanpa campuran apa pun,  tapi ga selamanya saya minum kopi yang pure. Kadang saya juga ngopi misalnya kopi campur susu,  dan itu tergantung situasi.”

Sejatinya kopi sudah menjadi budaya di bumi pertiwi. Menjadi hal yang dekat dengan keseharian masyarakat. Menjaga kopi agar tetap lestari adalah keharusan, terlebih memberi untung yang menjanjikan. Industri kopi menjadi ladang empuk penyedia lapangan kerja. Ladang luas pemasok devisa negara. Terlebih dijalankan oleh kaum muda yang tengah ada dalam masanya. Ajang positif penyalur ide-ide kreatif.

Bagi Firman berbicara tentang kopi maka berbicara tentang perspektif. “Kopi itu ngasih kita satu pelajaran bahwa kopi itu soal perspektif. Toh kopi aja beda-beda tapi ga pernah saling klaim siapa yang paling benar, begitupun kita sebagai manusia.”

Kopi yang berbeda asal, rasa dan makna saja melepas egonya dan tetap menamakan diri mereka sebagai kopi sejati. Lalu kita selaku manusia, makhluk yang diciptakan paling sempurna apa harus saling meninggikan ego karena tak sama? Tak perlu onar menentukan siapa yang benar, tak perlu ramai-ramai menilai siapa yang lalai. Hiduplah untuk saling menghargai seumpama kopi. Nikmati cita rasanya, maknai perbedaannya, pelajari arti tersembunyi dan terapkan dalam sisi kehidupan.

(YY)

Language
Scroll to Top