Mendung ditemani hujan rintik menjabat kedatangan saya dan rekan sore itu. Tiba di situs Megalitik Gunung Padang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur sekitar pukul setengah empat sore. Berkunjung saat matahari mulai segan menampakan diri menjadi penyesalan bagi kami. Alhasil, hanya secuil waktu yang kami dapatkan untuk menaksir panorama sekitar. Memang, sang cuaca lah yang menjadikan perjalanan cukup serakah terhadap waktu.

Kini kami harus menapak ke lokasi utama, cukup curam ternyata. Tinggi tempatnya sekitar 100 meter dengan 468 anak tangga yang berasal dari batu alami hasil rekonstruksi. Konon, tangga asli ini berumur 500-700 tahun Sebelum Masehi, yang setara dengan umur situs teratas Gunung Padang. Bedanya, jalan kedua sebelah kanan merupakan tangga buatan dari bahan semen dan pasir. Tidak lain, tujuannya adalah untuk dijajaki turis sehingga pendakian dapat dilakukan dengan santai.

Ya, akhirnya kami memilih jalan pertama. Jiwa muda, katanya. Namun, ternyata yang muda tak selamanya bisa. Kami menyesal memilih jalur tersebut. Kondisi menanjak curam membuat langkah kaki kami seringkali terhenti-henti. Terengah-engah, sepertinya bisa jadi lumrah. Udara sejuk pegunungan kian terabaikan, pun seiring dengan panas dan gerah yang membuat keringat membasahi kerah. Lutut kami gemetar ketika sampai di puncak bukit. Butuh waktu sepuluh menit untuk dapat mencapai lokasi utama Gunung Padang.

Namun, lelah kini berganti takjub. Tampak ratusan bebatuan berbentuk balok terhampar luas, tumpah ruah di hadapan kami. Ada yang melintang, berdiri miring, pun ada pula yang vertikal. Ada yang berserakan dan ada yang tersusun mengikuti kontur bukit. Pemandangan di sebelah kiri dan kanan tak kalah indah bagai permadani hijau terhampar luas.

Banyak orang menganggap bahwa Gunung Padang merupakan candi. Namun hal itu dibantah oleh warga lokal yang menjadi pemandu kami, “punden berundak Gunung Padang tidak memiliki struktur lanjutan seperti halnya candi yang memili bentuk sama dengan awalannya” ujar Zaenal Arifin. Fungsinya tetap sama seperti candi, sebagai tempat upacara keagamaan atau ritual. Karena tempat upacara keagamaan dipastikan ada pimpinannya, itu artinya ada struktur sosial yang terlihat dari punden berundak bertingkat di Gunung Padang.

Selepas itu, ia bergegas mengajak kami untuk berkeliling di teras pertama. Ia berpesan agar kami tidak merusak susunan batu-batu yang ada di situs tersebut. Istimewanya, beberapa batu mampu menghasilkan bunyi-bunyian mirip suara gamelan. “Batu ini di perkirakan dipakai untuk mengiringi upacara keagamaan zaman itu”, ucapnya sembari memukul batu tersebut. Hantaman tulang jemari yang mengenai batu itu menghasilkan bunyi yang tak begitu keras pun tak begitu jelas. “Seharusnya memang batu mengahantam batu”, ujarnya memperjelas alat yang seharusnya digunakan untuk mengeluarkan bunyi. Namun ia menambahkan jika keutuhan batu menjadi hal yang lebih diutamakan.

Perjalanan tidak berhenti sampai disitu. Selepas puas berkeliling di teras pertama, kami menyambung langkah kaki menuju teras kedua. Pemandangan asri nan elok terpapar nyata di hadapan kami. Tepat di batu yang kami duduki, jelas sudah betapa megahnya Situs Gunung Padang ini. Biarlah mata yang berbicara, biar decak kagum itu terpancar dari dalam tatapan kami.

Benar ternyata, deretan gunung-gunung yang terbentuk dari hasil ledakan gunung purba, dipadukan dengan penampakan Gunung Gede Pangrango, terpampang gagah dari kejauhan. Konon, teras kedua ini merupakan tempat sakral yang digunakan oleh masyarakat untuk berdoa. Hal ini didukung oleh keterangan yang disampaikan oleh Zaenal Arifin, bahwasannya tempat yang sedang kami pijaki ini dipercaya sebagai tempat yang paling mujarab tuk memanjatkan do’a pada Yang Kuasa.

Keadaan hati yang tak kunjung puas, kini disertai rasa penasaran yang semakin menjadi menjadi. Rasa lelah yang disebabkan oleh panjangnya perjalanan dari Kota Kembang tak menyulut kaki ini untuk melangkah lebih jauh lagi. Sesampainya di teras ketiga, guide kami mengarahkan telunjuk tangannya pada sebuah batu yang letaknya terhalangi oleh batu lainnya. Ia sempat berkata “ini de, batu artefak kujang”, dan saat itu pula kami kembali dibuat terpukau. Betapa cerdiknya masyarakat yang hidup jauh dari era modern sampai mampu membuat artefak berbentuk kujang dengan lekuk dan bentuk yang elok tersebut.

Tak hanya itu, kami kembali berdecak kagum tatkala melihat batu telapak kaki harimau yang begitu besar. Saking besarnya, kami bergurau dengan berucap “tapak sukuna ge badag, komo maung na nya!”, yang disambung dengan gelak tawa kami pun senyum merekah dari pengunjung lain.

Canda tawa turut menyertai langkah kami hingga tak terasa raga telah berada di teras ke empat. Sebetulnya, teras ke empat ini cukup berbeda dengan teras-teras sebelumnya. Di teras ini hanya terdapat satu batu, itu pun tidak dihiasi oleh batu-batu lainnya, sebut saja Batu Kanuragan. Menurut Zaenal, batu ini dipergunakan oleh masyarakat zaman dahulu untuk menguji kesaktian seseorang. Konon, jika seseorang mampu mengangkat batu itu dari tempatnya maka orang tersebut dikategorikan sebagai orang yang memiliki kedigdayaan yang tinggi.

            Hati semakin merasa penasaran, detak jantung pun kian terpacu. Kami menginjakkan kaki di teras kelima yang menjadi puncak dari Situs Gunung Padang. Rasa ingin tahu kami dibayar dengan pemandangan yang lebih memanjakan mata. Adanya batu singgasana menambah prestisius siapapun yang mematrikan kakinya di teras kelima. Maklum, batu singgasana ini merupakan batu yang dipergunakan sebagai tempat berdiamnya pemimpin masyarakat pada saat itu.

            Kunjungan kami di Situs Gunung Padang ini menjadi salah satu momen yang mengesankan. Suasana alam yang asri, ditemani sejuknya angin pegunungan pada akhirnya membuat kami betah untuk berlama-lama. Sayang rasanya jika lensa kamera tidak banyak membidik keindahan tempat ini.

Namun apa daya, waktu tidak mungkin berhenti dan memberi kompromi bagi setiap insan penghuni bumi. Perjalanan kami untuk pulang masih sangat jauh. Matahari mulai terbenam mengiringi langkah kaki kami menuruni anak tangga menuju pos awal pendaftaran. Perjalanan ini memberi banyak arti, kami semakin menyadari akan indahnya anugrah dari sang Illahi. Terpaparnya kemegahan Situs Gunung Padang mengartikan bahwa Tuhan ingin mengingatkan kita agar tak berhenti mengucap syukur dan bertafakur atas segala nikmat dan karunia yang telah diberi.

(NMA & SKB)

Language
Scroll to Top