marintan-sirait-bdg

“Kalau tak ada yang mendengarkan himbauanmu, berjalanlah terus,

kalau tak ada yang berani berbicara karena takut, buatlah deklarasi,

kalau semua orang pergi, berjalanlah terus,

walaupun menempuh jalan berduri di sepanjang jalan yang bernoda darah, berjalanlah terus” (Mahatma Gandhi)

 

Belum juga malam menyapa, langit sudah menyibakkan kelambu hitamnya di kawasan Jalan Tamansari 73, Sabuga, Kota Bandung. Suasana riuh terekam sahut menyahut di sekitar gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga). Keramaian yang menyergap ditengah rintik hujan, dengan malu-malu dan berpacu bersama dentingan irama musik. Petang itu konser musik band kenamaan anak muda masa kini, Hivi sedang berlangsung.

Siapa sangka, gedung Sabuga yang selama ini dikenal sebagai gedung pertunjukkan dan konser itu, rupanya  menyimpan banyak cerita dari komunitas yang lahir dan besar dari sosok Marintan Sirait. Bersama suaminya, Andar Manik, yang keduanya bergelut di bidang visual and performance artist itu, mereka berjuang menggagas Jendela Ide sejak 1995 silam.

Eksterior ruang Jendela Ide, didominasi dengan warna putih. Ditilik dari luar, sekilas ruangan itu hampir tak dapat dikenali, jika tidak bertuliskan Jendela Ide pada selembar kertas yang terselip tenang di kaca ruangan. Sebuah tempat, yang lebih mirip bangunan tua Sekolah Dasar. Bergaya vintage dengan nuansa polos tanpa pernak-pernik arsitektur yang berarti.

Namun, kesan berbeda seketika terasa, setelah menginjakkan kaki memasuki ruangan. Di seluruh sisi dinding terdapat mural yang lekat dengan nuansa warna-warni berfotokan dunia anak-anak, alat musik yang berjajar rapi, patung-patung kesenian, dan poster-poster yang hampir memenuhi dinding, berderet sambung menyambung, menyuarakan slogan-slogan tentang seni dan budaya. Lebih jauh memasuki ruangan, akan tampak rak-rak buku yang seolah rindu untuk dijamah.

Ruangan telah penuh sesak dengan orang-orang dari berbagai kalangan usia. Ada anak kecil hingga manula. Ada yang sibuk berfoto ria, ada yang asyik berbincang, ada yang tengah menyeduh teh hangat dengan kepulan asap panasnya melayang di udara, dan ada pula yang sekedar hilir mudik memeriksa sekitar. Menyusuri ruangan, poster-poster dan beragam karya tangan anak-anak pun disuguhkan dengan apik.

Rupanya, hajat besar Jendela Ide baru saja rampung digelar. Masih terpampang jelas spanduk yang dipasang di muka panggung. Tidak sendirian, spanduk itu ditemani dengan beragam alat musik tradisional dan modern serta perkakas-perkakas sisa pentas. Dari spanduk, terbaca nama acara ‘Suara Anak Prung! Berbagi Nada- Rasa- Kata’. Begitu bunyinya, yang lamat-lamat terlafal dari jarak pandang 10 meter.

Acara tersebut, menghadirkan drama musikal, suara anak Jendela Ide dan Paduan Suara SD Santa Melania. Di tengah kerumunan, terlihat perempuan dengan balutan busana monokrom bernuansa edgy, dengan bando putih melingkari kepala mengapit rambut pendeknya. Dia adalah Marintan Sirait, pendiri sekaligus “otak” di balik gemilangnya komunitas Jendela Ide.

“Saya bersama suami, Mas Andar, dalam proses perjalanan kami pameran ke berbagai negara, kenapa enggak, kita membuat sesuatu yang bermanfaat, minimal untuk anak- anak di sekitar kita,” ucap Marintan, mengawali perbincangan.

Jendela Ide: Wadah Seni dan Budaya

Sosok perempuan yang lahir di Braunshweig pada 1960 ini mengungkapkan, pada masa Ia mulai menggagas Jendela Ide, sekolah saat itu mulai segmentif. Ada batas-batas yang menjadi jurang pemisah antar golongan dalam masyarakat. Ia tidak ingin, seni dan budaya hanya dapat dinikmati oleh kalangan yang memang dalam lingkaran seni. “Nah, saya berharap Jendela Ide dapat menjadi sebuah wadah seni dan budaya bagi anak-anak dari berbagai latar belakang,” terang Marintan.

Baginya, seni dan budaya tidak melulu soal pertunjukkan, dan ketika telah selesai, penonton tak ubahnya masih sama seperti sebelumnya. Tidak mendapat apa-apa. Namun seni dan budaya semestinya harus mempunyai dampak. Karena itu, pada seni dan budaya, dapat disisipkan pesan-pesan tentang nilai-nilai kemanusiaan, sosial, budaya, termasuk juga pesan untuk mencintai lingkungan pada anak-anak. Hal itulah, yang saat ini sedang digarap oleh Jendela Ide dengan meluncurkan program Suara Anak, yang menggaet suara-suara emas  dalam kompilasi album lagu anak-anak nasional.

Ketika ditanya, mengapa membidik dunia anak sebagai target pergerakkannya, Marintan dengan senyum mengembang menuturkan, bahwa anak-anak adalah tunas-tunas potensial yang akan tumbuh di masa mendatang. Pada merekalah, bangsa ini akan bertumpu. Jika tunas itu dari sekarang telah disiapkan dengan baik, maka di masa depan akan dapat tumbuh dengan kokoh dan mampu membawa bangsa ini lebih baik.

Perempuan yang tertarik di bidang seni dan budaya itu, memfokuskan kegiatan Jendela Ide pada pengembangan cara berpikir dan hal-hal yang merangsang perspektif anak-anak dan remaja. Jalan yang ditempuh, yaitu lewat pameran, workshop, dan pertemuan budaya. Berbagai kegiatan yang disuguhkan, juga dapat dipilih sesuai minat dan bakat masing-masing anak. Di antaranya, kelas keramik, melukis, membuat wayang, musik: piano, vokal, biola dan kecapi, serta tari yang meliputi hip-hop dan tradisional.

Dalam menggerakkan Jendela Ide, Marintan yang menyelesaikan S1 Seni Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain di ITB pada 1987 itu, menjunjung asas penghargaan terhadap kreatifitas individu, keberagaman, dan pemahaman silang budaya. Baginya, setiap individu dari anak-anak punya sisi uniknya masing-masing.

Mengagumi India

Sejauh perjalanan hidupnya hingga saat ini, yang telah mencicipi beraneka rupa musim, melintasi bermil-mil daratan dan lautan dalam pengembaraannya mengeksplorasi seni dan budaya di berbagai negara di dunia,  satu hal yang paling mampu membuatnya jatuh hati, yaitu India. Negara yang mahsyur dengan sebutan Bollywood itu, telah menjadi inspirasi dalam hidupnya kemudian.

“India paling saya kagumi. Di sana punya 40 institusi di Kementerian yang mengakomodasi kebudayaan. India hampir sama kondisinya dengan Indonesia. Sama-sama padat penduduk. Dilihat dari sosial dan budayanya pun, nyaris sama,” ujarnya.

Ia menuturkan hal yang membedakan keduanya, India lebih terorganisir dalam pengelolaan kebudayaan. Institusi kebudayaan milik negara telah mampu digarap sedemikian rupa, untuk mengakomodir kebudayaan-kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.

Namun di Indonesia, peran institusi, atau yang jamak disebut lembaga kebudayaan, masih setengah hati  dalam mengelola kebudayaan nasional. Pepatah mengatakan ‘hidup enggan, mati pun tak mau’. Alhasil, hal itu menurutnya, menjadikan Indonesia mempunyai daya tawar seni dan budaya yang masih lemah di mata internasional.

Meskipun demikian, Ia tak lantas ciut nyali untuk mempromosikan seni dan budaya, utamanya kepada anak-anak dan remaja. Di bantu suami dan tim Jendela Ide, Ia bertekad untuk terus mengembangkan wadah aktivitas anak dan remaja yang dinamis sesuai perkembangan zaman. “Zaman berubah, tantangannya juga berubah. Anak dan remaja harus didekati tidak hanya dengan nalar. Tapi, harus dengan berbagai gerak dan perkembangannya,” imbuhnya.

Selain menggandeng berbagai komunitas budaya dan seni lokal maupun nasional, Marintan juga tidak menutup diri untuk berkolaborasi dengan lembaga kebudayaan dari berbagai negara di dunia. Bukan berarti dengan cara itu, Ia ingin menghilangkan identitas budaya sendiri, tapi untuk memperkaya perspektif terhadap budaya. Hingga kemudian, rasa cinta terhadap kebudayaan sendiri akan bertambah, lagi dan lagi.

Inspirasi dari ‘Mantra’ Gandhi

Marintan, adalah satu di antara segelintir insan negeri yang fokus menggelorakan perjuangannya di bidang seni dan budaya. Ialah Gandhi, sosok yang selama ini menjadi sumber inspirasinya. Bukan saja dalam menelurkan karya, tapi lebih dari itu. Gandhi telah mengajarinya banyak pelajaran hidup yang berhasil memantikkan semangat juangnya. “Gandhi begitu menginspirasi saya. Bukan saja dalam berkarya. Tapi, juga dalam mengarungi kehidupan”, ujarnya.

Jika Gandhi adalah pejuang dalam persamaan hak dan penghapusan status sosial di India pada masa itu, Marintan memilih jalan lain dalam bidang seni dan budaya. Namun, pandangan hidup Gandhi yang menjunjung tinggi persamaan hak antar sesama, dapat ditemukan juga pada dirinya yang memperjuangkan persamaan penghargaan atas masing-masing anak dan remaja. “Kita beda, namun sama”, pungkasnya.

Sekelumit ‘mantra’ dari Gandhi tentang hakikat untuk terus berjalan menghadapi segala tantangan, selalu tergiang di benak Marintan Sirait. Keteguhan dan semangat juang Gandhi, telah menjadi inspirasi baginya untuk terus bertahan pada apa-apa yang telah, sedang dan akan diperjuangkannya. Ialah Jendela Ide, satu dari sekian inspirasi Marintan yang lahir dan terus bernyawa oleh ‘mantra’ Gandhi.

 

Biodata

Nama Lengkap: Marintan Sirait Lahir: Braunschweig, 1960 Riwayat Pendidikan: S1 Seni Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1987), Distance Course Neo Humanist Education, USA (2000) Pameran: Bentara Budaya Jakarta (2000), Indonesian Women Artist Exhibition (2001), , KHOJ International Artist Workshop Modinagar India (2002), I Hear The Sound of You in My Mind Gwangju Biennale Korsel (2003), Last Night I Heard A Dog Barking at The Moon (2003-2006), Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas di Jakarta, Bandung, Denpasar (2007), Intimate Distance Indonesian Women Artist Exhibition Galeri Nasional Indonesia (2007).

Nurul Nur Azizah, mahasiswa Jurnalistik Ilmu Komunikasi 2013.

Language
Scroll to Top