Unggahan Lapor Diri

Menelisitik Jurnalistik

Gertakan
Setiap pukul tujuh pagi, seluruh anggota keluarga berkumpul di depan televisi. Yang pertama diperhatikan adalah bagaimana perkiraan cuaca hari ini. Jika diprediksikan hujan, maka saya akan dibekali payung dan jas hujan, karena perjalanan jauh menuju sekolah dengan menggunakan sepeda. Prediksi yang disiarkan di televisi sangat akurat. Tak pernah saya sia-sia jika dibekali payung, atau menyesal karena tak membawanya. Sebab keadaan geografis negri ini, maka perkiraan cuaca sangat dibutuhkan. Hal ini menjadi bukti bahwa media dapat memengaruhi ritual masyarakat, karena masyarakat menjadi mengalami entropi jika tidak melihat ramalan cuaca sebelum berkegiatan.

Setelah pulang sekolah, sekitar jam tujuh malam, televisi kembali menjadi penghangat percakapan keluarga sambil makan malam. Acara yang ditayangkan sangat menghibur, ada perlombaan bagaimana beradu cepat menyiapkan seorang anak dari bangun tidur hingga siap pergi ke sekolah. Di lain acara, ada perlombaan beradu cepat melipat pakaian dari kaos kaki hingga kemeja. Kami terpingkal menertawakan rutinitas kami sendiri yang ternyata belum terlalu sigap dalam melakukan hal-hal kecil yang itu penting bagi kehidupan kami. Tak terlalu banyak tayangan mengenai kriminal, korupsi, politik, dan sebagainya di malam hari. Bahkan artis lawak lebih terkenal daripada mentri ataupun birokrat lainnya. Sungguh nikmat hidup di depan layar televisi.

Tapi, sayangnya saya bukan sedang berada di negeri sendiri. Saya berada di negri Sakura, yang terkenal akan kemajuannya, tetapi tetap erat dengan karakter lokalnya. Pada Oktober 2012, tujuh hari saya berada di Shizuoka, tiga hari di Tokyo untuk pertukaran pelajar. Sebenarnya ketika berada di sana, saya tak terlalu kagum pada acara televisi atau berita di koran Jepang, karena memang sudah banyak interaksi bahwa media di Jepang sangat mendidik, contoh yang paling sering digunakan adalah cara jurnalis mengangkat bencana alam di Jepang. Pujian lain dari sesama peserta pertukaran pelajar adalah televisi di Jepang sangat memerhatikan acara yang sesuai dengan konteks waktu, pemberitaan di koran cenderung strukturalis dengan banyak mengangkat budaya lokalnya, serta berisi banyak acara-acara yang akan diselenggarakan, acara hiburan televisi mendidik dan membuat kita menangkap pelajaran penting dari acara tersebut, dan pujian lainnya yang membutuhkan kajian khusus untuk menjelaskannya. Hanya sedikit satu keluhan dari kawan-kawan tentang jurnalisme di negeri itu, bahwa majalah dewasa cenderung bertebaran dengan bebas di swalayan, dikhawatirkan anak kecil dapat melihat gambar-gambar “dewasa”.

Ke manapun kita bertandang, kampung halaman akan mengucapkan “ayolah pulang, dan selamat datang.” Beberapa bulang setelahnya, ketika saya akan pergi berangkat sekolah bersama Ayah, dan temannya, seseorang menghampiri dengan membawa majalah. Ia mengetuk ke dalam kaca mobil dinas, dan mengajak Ayah saya untuk berbincang. Ia mengatakan bahwa kasus Ayah saya telah masuk ke dalam koran, dan di sana hanya dikatakan yang baik-baiknya saja. Ayah saya spontan terkejut. Ia bertanya kasus apa yang masuk koran, kemudian dijawabya kasus lahan di daerah Haur Wangi. Tanpa basa-basi ia meminta imbalan berapapun karena berita tentang kasus itu telah dimuat, serta dia memberikan ancaman akan mengangkat satu kasus lagi yang belum terselesaikan. Ayah lebih terenyah. Agar wartawan itu tak banyak bicara, Ayah saya mengeluarkan dompet, tetapi temannya melarangnya, dan dengan berani mengusir wartawan itu. Setelah ditelusuri, lucunya ternyata wartawan itu salah rumah, dan tentunya salah orang yang dituju. Karena ada Camat Haur Wangi yang menjadi tetangga rumah saya padahal Ayah saya bekerja di Dinas Kehutanan. Mungkin karena mobil dinas yang sama, wartawan itu langsung menyerobotnya tanpa basa-basi.

Kontradiksi kuat terjadi jika saya mengkomparasikan dengan produk Jurnalistik Jepang yang tadi saya ceritakan. Di Indonesia, hingga tahun 2013 ternyata masih ada yang dikatakan dengan Wartawan Bodrex. Jika ditelusur arti namanya, Bodrex adalah merek obat sait kepala yang dijual murah di warung. Mungkin nama itu sindiran bagi wartawan yang membutuhkan uang, karena untuk mengobati pusing di kepalanya saja mereka harus meminta uang dengan ancaman terlebih dahulu kepada informan. Sebutan lain di Indonesia adalah “Wartawan Amplop” “Wartawan Ci Atah” atau “Wartawan 86”. Di dunia pers Indonesia menurut Kusumaningrat dan Kusumaningrat (2012: 101-102), ada wartawan yang gemar menerima amplop dari sumber berita tidak akan menulis berita (memuat) hasil wawancaranya jika ia tidak dibekali amplop oleh sumber berita tersebut. Atau, ada juga wartawan yang sekadar melakukan wawancara ke sana kemari, tetapi tidak pernah ada beritanya yang simuat karena memagn si wartawan tidak punya suratkabar alias bukan wartawan surat kabar manapun, wartawan semacam ini sering disebut WTS (wartawan tanpa suratkabar).

Hal inilah yang mendasari saya menulis kegelisahan dengan menelusur dari sejarahnya terlebih dahulu. Semoga pemaparan ini dapat menjadi perbandingan kepada Kohdai – San bagaimana dunia Jurnalistik di Jepang, apakah masalah yang tadi dan nanti akan saya paparkan terjadi juga di sana, serta bagaimana solusi penanggulangannya. Apakah di Jepang ada wartawan Bodrek, misalnya? Atau ketika waktu pra dan pasca Pemilu kemarin (15/12) apakah ada media yang ditunggangi politisi sehingga wartawannya menjadi buruh propaganda seperti Metro dan Tv One and the gang di Indonesia pada Pemilu Presiden 2014? Serta pertanyaan lainnya yang mungkin nanti akan muncul.

Pelajaran dari Perjalanan Jurnalistik Indonesia
Pers di Indonesia dimulai sejak zaman kolonialisme Belanda. Mesin cetak dibawa oleh Belanda pada 1624. Pada tahun 1744, Gubernur Jendral Willem Baron van Imhoff mendirikan percetakan Benteng di Batavia dan menerbitkan surat kabar pertama bernama Bataviase Nouvels yang terbit setiap minggu dalam bahasa Belanda karena memang ditunjukkan untuk orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Pada tahun 1855, terbit sebuah surat kabar mingguan uuntuk pribumi Jawa yang dimodali orang-orang Belanda dan Cina, bernama Bromartani (Juru Warta) (Mulkan, 2013 : 178). Namun meskipun koran pada bahasa Melayu ini terbit pertama pada tahun 1855, penetapan hari Pers di Indonesia bukan pada diambil dari itu, karena dianggap harian itu masih dimodali oleh kelompok non-pribumi (lihat Harsono, Agama Saya Jurnalisme) Pers Indonesia pun semakin berkembang. Di Surabaya terbit surakabar berbahasa Melayu pada tahun 1861 dengan nama Bentang Soerabaja. Kemudian terbit pada tahun 1907 suratkabar bernuansa nasionalisme pada tahun 1907 bernama Medan Prijaji. Hingga saat ini, menurut Mulkan (2013: 179) telah terdapat lebih dari 250 suratkabar di Indonesia yang terdaftar sebagai anggota Serikat Penerbit Suratkabar.

Tetapi yang akan dikaji di sini adalah bukan mengenai sejarah secara terperinci tanpa ada pelajaran yang dapat diambil darinya. Seperti yang dilontarkan Hilmar Farid sejarawan Universitas Indonesia dalam orasi budayanya di Salihara (2014) bahwa sejarah dapat dan harus berfungsi sebagai kritik.

Pers di Indonesia dalam perjalanan sejarahnya, tidak pernah lepas dari kepentingan di luar wartawannya (institusi, lembaga professional, serta Pemerintah). Ketika seorang wartawan meminta uang kepada informan tanpa alasan yang jelas, tentu ada kausalitas dari lembaga sosial yang mengikatnya; apakah itu gaji yang tidak layak yang diberikan perusahaan, atau upah minimum kecil yang ditetapkan oleh Pemerintah, dan alasan lainnya. Lalu, ketika kita hanya menyalahkan bahwa kredibilitas seorang jurnalis itu tergantung individunya, apakah dia sudah mampu menjadi wartawan yang professional dari segi pendidikan dan ideologisnya yang mengamalkan 9 elemen Jurnalistik ala Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, maka pertanyaan itu sudah terjawab dengan adanya aturan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Belum lagi ada kode etik dari berbagai lembaga profesi yang mengatur bagaimana seharusnya jurnalis sebagai individu bertindak secara professional. Meskipun pada akhirnya pemberlakuan semua itu dikembalikan pada hati nurani wartawan, tetapi ada hal yang sering dilupakan, yaitu bagaimana pengaruh sosial dan politik Indonesia. Karena itu, dalam kajian etika (yang berangkat dari filsafat) mahasiswa calon professional akan mempelajarinya dari segi etika mikro dan etika makro.

Van Peursen (dalam Mallarangeng, 2010: 8) menyatakan bahwa etika mikro [yaitu etika dalam pengertian konvensional] berurusan dengan orang-perorangan, sedang etika makro dengan struktur-struktur, susunan dalam masyarakat. Struktur tersebut merupakan pola-pola sosial, kaidah-kaidah dan kekuatan lain yang bergerak dalam masyarakat modern. ….struktur-struktur tersebut muncul dalam cara berita dan informasi disajikan, dalam tekanan yagn dialami orang per orang atau kelompok untuk berbuat ini itu. pokoknya daya-daya kekuatan yang mempengaruhi pola kekuatan kita sering samar-samar saja, tidak dapat diraba-raba.

Dasar alasan pembahasannya adalah pernyataan berupa bantahan terhadap tidak cukupnya kajian etika jurnalis hanya pada etika mikro yang dilontarkan Mallarangeng. Robert Pierce dari University of Florida (dalam Malarangen, 2010: 100), menyatakan bahwa kecenderungan pers untuk membawakan suara pejabat (atau melakukan kejelekan lain) demikian dikatakan sebagai akibat dari bebarapa faktor: rendahnya pendidikan wartawan, kecilnya gaji, rendahnya standar jurnalistik, serta rendahnya posisi wartawan dalam kompetisi status masyarakat. Tapi Mallarangeng membantah, dikatakannya bahwa Pierce terlalu menekankan pandangannya ke dalam lembaga pers dengan menjadikan faktor kemampuan wartawan sebagai variabel utama. Dia melupakan hal yang berlangsung di luar lembaga pers, yang mencengkram wartawan untuk menyajikan informasi tertentu dan tidak menyajikan informasi lainnya. dalam perkembangan pers kita selama ini, tidak kurang wartawan yang bergelar sarjana, bahkan beberapa institusi pers hanya menerima calon wartawan yang memiliki gelar ijazah S-1. Gaji wartawan pun kini telah melampaui gaji seorang dosen misalnya, status profesi wartwan di masyrakat masih dianggap sebagai seorang pahlawan, juru kebenaran, dan pekerjaan yang mengangkat kebenaran, juga semasa industrialisasi mendorong pers untuk memiliki manajemen dan peralatan yang canggih. Namun dinamika di luar pers pada tataran sistem sosial politik merelatifkan soal wartawan yang makin pandai atau manajemen peralatan pers yang makin canggih itu. Karena itulah, untuk menjadikan sejarah sebagai kritik, saya akan memandang keadaan sosial dan politik Indonesia sebagai dinamika yang memengaruhi bagaimana jurnalis bekerja, yaitu melalui pendekatan etika makro.

Sejarah pers Indonesia mencerminkan keanekaragaman budaya dan politik masyarakat Indonesia. Struktur pers Indonesia pada awalnya menggambarkan adanya golongan masyarakat yang terpisah satu sama lain, yaitu golongan penduduk Belanda, Tionghoa, Arab, dan India. Masyarakat hidup dalam batas-batas kesukuan.

Bahasa yang dipakai juga berbeda-beda, demikian halnya dengan pers. Bahkan tidak jarang pers merupakan suara pendukung berbagai ideologi masyrakat tersebut (Surjomihardjo dkk, 2002; dalam Simarmata 2014: 2002). Masih dalam Simarmata (2014: 119-120), Taufik dan Sayoga membagi sejarah persi Indonesia sebagai berikut

Pertama, periode pergerakan kemerdekaan (1900-1945). Pada periode ini pers Indonesia adalah alat untuk memperjuangkan hak-hak rakyat sebagai usaha untuk memperbaiki nasib rakyat yang terjajah dengan sarana yang serba sederhana dan kekurangan. Pers menjadi saluran pemimpin dan keinginan rakyat, sehingga penguasa Belanda berusaha menghalang-halangi perkembangan pers nasional karena sangat berbahaya bagi Belanda. Di sinilah letak pertama kalinya bagaimana pemerintah yang berkuasa membredel pers dan kinerja jurnalistik di Indonesia. Bisa saja referensi sejarah ini yang menginspirasi rezim Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru di kemudian hari. Ketika saat ini, wartawan hadir sebagai bagaimana seyogyanya seorang pahlawan. Meskipun tentu, untuk menjadi pahlawan bagi bangsanya sendiri, cara peliputan dan penulisan akan berlandaskan suatu propaganda atau ajakan dengan bahasa metafor kepada masyarakat Indonesia agar gigih melawan Belanda.

Kedua, periode penjajahan Jepang (1942-1945). Pers seluruhnya dikuasai oleh tentara pendudukan Jepang. Dari keadaan pendudukan Jepang pada saat itu, ada hal-hal yang menguntungkan, yaitu orang-orang Pers Indonesia dapat belajar dari keadaan dalam mempertembal semangat nasionalisme. Sebelumnya telah ada yang bekerja di harian jepang. Duta Kusumaningrat namanya yang memberikan ramalan dalam tulisan-tulisan featuresnya di Sin Po tentang kemungkinan Jepang menyerbu Indonesia jika Perang Dunia II meletus. Ramalanya menjadi kenyataan karena tentara Jepang memang benar-benar mendarat di Jawa pada tahun 1942 dan pemerintah colonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara Dai Nippon. Duta Kusumaningrat pada tahun-tahun tigapuluhan itu pernah bekerja di surat kabar Java Bode, De Courant, dan kemudian barulah menjadi freelancer journalist pada harian Sin Po (Kusumaningrat, 2012: 82).

Ketiga, periode revolusi fisik (1945-1950). Pada masa ini pers adalah alat perjuangan, penyebar semangat revolusioner yang merupakan modal utama melanjutkan perlawanan menentang penjajah. Jurnalis di sini benar-benar menggunakan pers sebagai alat propaganda, karena Indonesia sudah memerdekakan diri, tidak ada Pemerintah yang menginterpensi, tetapi ada musuh yang akan merobohkan kedaulatan bangsa.

Keempat, periode liberal (1950-1955). Karena situasi dan kondisi pada masa ini berorientasi ke sistem liberal, maka pers Indonesia menjadi alat partai-partai yang banyak jumlahnya. Contohnya adalah harian Kompas. Kompas mulai terbit di Jakarta pada 28 Juni 1965. Harian ini diterbitkan oleh sejumlah wartawan yang waktu itu telah cukup sukses menerbitkan majlah bulanan Intisari; antara lain P.K Ojong dan Jakib Oetama. Kompas dilahirkan dalam situasi sejarah ketika “politik menjadi panglima”. Partai politik diakui sebagai satu-satunya organisasi sosial yang boleh menyalurkan aspirasi politik masyarakat. Karena itu setiap surat kabar yang terbit pada wakti itu diharuskan untuk mengaitkan dirinya (berafiliasi) dengan salah satu partai politik yang ada. Dalam hal ini Kompas memilih berafiliasi dengan Partai Katolik yang waktu itu dipimpin oleh IJ. Kasimo (setelah keharusan berafiliasi dengan partai dihapuskan, Kompas menjadi surat kabar yang independen dan menjadi instansi yang mengejar profit). (Mallarangeng, 2010: 51).

Kelima, periode demokrasi terpimpin (1959-1965). Fungsi pers pada masa ini tidak berjalan sebagai mana mestinya, sesuai dengan perannhya sebagai lembaga sosial. Fungsi kritik dan kontrol sosial serta kebebasan pers ditekan oleh penguasa pada waktu itu.

Keenam, adalah masa Orde Baru (1966-1998). Pada masa ini, pers hidup di bawah sistem otoritarian. Oleh karena itu, pers tidak luput dari pembredelan, tekanan politik, maupun pembatasan kebebasan pers lewat berbagai mekanisme politik seperti Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Orde baru menggulingkan Orde lama, gejala makro yang paling mencolok adalah makin dominannya negara. Gerak kolektfi yang terjadi dalam masyarakat, pembanguna, seolah menjadi monopoli negara. Akibatnya, para pejabat negara (birokrat) terangkat menjadi aktor-aktor utama dalam sistem kemasyarakatan, aktor-aktor yang menentukan hitam-putih kehidupan sosial (Mallarangeng, 2010: 101).

Pada masa ini pula, lahir koran partisan, yaitu Suara Karya. Suara Karya terbit pertama kali pada 11 Maret 1971. Harian ini diterbitkan oleh Yayasan Suara Karya. …terbit pertama kali empat halaman. Pada halaman pertama terbitan ini, di seperempat halaman kanan atas, terncantum ucapan dari Presiden Soeharto atas terbitnya koran ini. …pada terbitan ini pula Suara Karya menurunkan berita utama yang membeberkan jawaban-jawaban Presiden Soeharto terhadap pertanyaan sekitar Supersemar. Pada pokoknya berita utama ini inigin mendukung keabsahan Supersemar sebagai pemberian kepercayaan kepada Soeharto untuk melakukan serangkaian langkah pembaruan masyrakat pasca-Orde Lama. Pada terbita ini pula, untuk memperjelas visi dan member penjelasan mengapa Suara Karya diterbitkan, harian ini menurunkan tajuk rancana yang berjudul “Missi Suara Karya” yang isinya sebagai koran partisan (koran partai) rezim Orde Baru. Agak ironis sebenarnya, sebab koran semacam ini menjadi cirri Pers Orde Lama—orde yang justru ingin diperanginya.(Mallarangeng, 2010: 63-65)

Dari periodisasi di atas terlihat bahwa sejak awal pers Indonesia sudah sangat kental dengan nuansa politis. Artinya, pers tidak lepas dari pengaruh rezim pada masa itu, baik oleh karena rezim mengekang pers, maupun karena rezim menggunakan pers untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan ideologisnya (Simarmata, 2014: 120).

Perkembangan Pers pasca-Orde Baru disebut “pers reformasi”. Dorongan demokratisasi dan liberalisasi ekonomi dan politikberdampak luas bagi kehidupan pers pada era reformasi. Berbagai bentuk peraturan yang memabtasi kebebasan politik secara umum, maupun kebebasan pers secara khusus mulai dihapuskan, terlebih pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid yang juga menghapuskan peraturan-peraturan diskriminatif. Pada saat yang sama, sturktur pers nasional juga berubah drastis dengan munculnya berbagai bentuk media, mulai dari televisi, radio, dan media cetak, serta terlebih hadirnya media baru internet.

Pada saat ini pers ditransformasikan dari media untuk wacana politik menjadi industri komersil yang signifikan. (Simarmata, 2014: 120). Kusumaningrat (2012: 94) menyatakan bahwa dalam era reformasi setelah tumbangnya Orde Baru, pers pun belum luput dari tekanan. Kita mau tidak mau harus mengakui bahwa sejak negara kita menganut sitem ekonomi pasar bebas di zaman Orde Baru, media massa bukan lagi alat perjuangan melainkan sudah tegas-tegas menjadi bisnis pengejar laba (profit-making business). Ini bukan berarti pers sudah lupa akan fungsinya untuk memperjuangkan kepentingan publik, atau melindungi hak-hak sipil sesama bangsa. Tetapi, agar tetap hidup, mereka perlu lebih memperhatikan kepentingan ekonominya agar kerugian tidak menimpa bisnisnya. Iswandi (2013: 165) menulis dengan menyoroti lebih kepada teknis yang menguatkan bagaimana media saat ini bekerja untuk mencari keuntungan. Tulisnya bahwa saat ini, ketika hegemoni negara terhadap media mulai melemah, pers dan kerja jurnalistik tetap tidak mampu menjadi cermin yang objektif terhadap realitas. Pada rezim negara (state regime) pers menggunakan strategi memilih penghalusan kalimat jurnalistik (eufimisme), sedangkan pada rezim media (media regime) pers memilih kalimat yang berlebih-lebihan (hiperbolis). Kalimat yang berlebihan tersebut bukan karena adanya tekanan dari negara, tapi karena tekanan dari adanya persaignan di antara sesama media industri media dengan kepentingan yang berbeda (biasanya di sisi ekonomi dan politik). Konflik sosial dalam masyarakat digambarkan secara hiperbolik melalui kalimat ‘bentrok, ‘perang’, ‘amuk massa’.

Sejarah telah mengkritik bahwa ternyata, dunia jurnalistik di Indonesia masih menyisakan cara-cara sosial yang merobohkan independensi jurnalis itu sendiri.

Sekarang masih ada koran yang dijadikan sebagai partisan, Media Indonesia dan Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh sebagai politisi Partai Nasional Demokrat dari segi isi ketika pemerintahan SBY akan cenderung mengkritisi pemerintahan. Tetapi berbeda, ketika pemerintahan Jokowi, kawalan terhadap pemerintah dikendorkan (terlihat dalam kasus kenaikan BBM kemarin) karena Surya Paloh masuk ke dalam pemerintahan Jokowi. Menjadikan media sebagai partisa partai oleh pemiliknya sangat tampak terlihat juga ketika pemilihan presiden 2014 yang lalu, seperti yang kita ketahui bersama bagaimana jurnalis bertindak secara bodoh dengan mengeluarkan produk-produk jurnalistik yang tak bebas kepentingan (TV One dan ANTV, MNC Group, Metro TV). Belum lagi masalah penggunaan media sebagai instansi pencari laba di mana segalanya dikomodifikasi agar menjadi barang yang laku di pasaran, termasuk di dalamnya budaya bangsa yang mengandung karakter bangsa yang kita cari selama ini, media lah yang mencerabutnya. Hal ini terutama jelas terlihat dalam produk jurnalis-broadcasting Televisi.

Saya hanya menyatakan bahwa, kita hanya perlu memilih rezim mana yang berkuasa. Apakah rezim pemerintah, di mana memiliki kemungkinan untuk pembredelan pers. Atau rezim media di mana akan memiliki kemungkinan untuk menggunakan media sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Lalu, seperti apakah wujud pers Indonesia dalam perjalanannya? Apa pelajaran yang dapat diambil? Kita dapat mengambil pelajaran dalam bentuk pertanyaan. Jika fungsi jurnalistik adalah untuk memberi informasi, lalu informasi dari kelompok kepentingan manakah yang disajikan kepada kita? Jurnalistik berfungsi untuk mengajak, ajakan siapa yang harus kita turuti dengan konsekuensi bagaimana dan untuk keuntungan siapa jika kita mengikuti ajakan tersebut? Jika jurnalistik dikatakan masih berfungsi untuk mendidik masyarakat, pendidikan dengan ideologi siapa yang diberikan kepada kita?

Tentu, itu bukan pertanyaan pesimistis semata, itu adalah pertanyaan bagi kita selaku mahasiswa yang nanti mungkin (masih berminat) bekerja di dunia Jurnalistik. Tak semua media seperti itu juga, masih ada berbagai media yang tetap mengutamakan kepentingan masyarakat, meskipun tak bisa lepas dari kepentingan politik dan ekonomi pemiliknya.

Aristoteles berkata, kita semua mempunyai kesempatan yang sama, karena kita mempunyai akal sehat yang sama. Lalu, siapakah yang dapat merusak akal sehat kita?

***Muhammad Fasha Rouf, Sarjana Ilmu Komunikasi UPI

Language
Scroll to Top