Sang Pahlawan

Dahulu kala, ketika aku masih kecil, kakek sering mengganggu ku. Mengambil apa yang aku pegang, menghalangi jalan ketika sedang kebelet ingin buang air ke kamar mandi serta menggeletiki ku adalah hal yang paling beliau gemari namun hal yang paling ku benci. Semakin muda umur semakin simple juga hidup yang di jalani, begitu bukan? Hanya ada rasa senang dan sedih saja ketika aku masih kecil, banyak hal yang tidak aku mengerti di kala itu. Bahkan ketika kakek sudah mulai sakit aku bahkan tidak mempedulikan nya, yang aku sadari tidak ada kakek yang mengganggu ku lagi. Beberapa bulan kemudian ketika aku sudah beranjak 7 tahun, aku masih ingat ketika kakak menghampiri saat aku sedang bermain di kamar, melihat wajah nya yang penuh duka, serentak aku menjadi sedih dan hanya berdiam saja karna tidak terlalu paham ketika dia berkata “ Aki meninggal”.

Kematian beliau menjadi kematian pertama yang aku rasakan dampak nya, disaat semua orang berduka, banyak keluarga yang datang, aku dan saudara hanya berkumpul dan sedikit bermain di kamar belakang. Ketika mulai memasuki area makam, aku kagum melihat sepasang monumen batu putih yang menjulang tinggi dan ditemani oleh patung raksasa seorang prajurit yang sedang membawa senapan. Banyak pria menggunakan seragam tentara yang berbaris dan mengarahkan senapan nya ke atas lalu menembak beberapa kali ketika peti mati kakek melewati mereka. Upacara ini disebut dengan “Salvo”, dilakukan untuk menghormati seorang prajurit yang gugur. Bagi seorang anak kecil, rasanya saat itu seperti melihat kembang api yang suaranya sangat keras dan tidak tahu seberapa besar dampak yang ditinggalkan kakek kepada para keluarga nya.

Belasan tahun berlalu, seiring berjalan nya waktu, aku sadar bahwa kakek merupakan seorang pahlawan negara yang sangat disegani oleh orang orang. Setelah melihat foto foto nya yang menggunakan seragam prajurit, dan pujian pujian “Aki orang nya hebat” membuat ku bangga mempunyai kakek seperti itu, hanya saja aku menyesal tidak menyadari nya dari kecil. Diri sendiri sudah menjadi pribadi yang dewasa sekarang, perasaan dan emosi sudah tidak se simple dahulu lagi, bahkan lebih banyak negatif dibanding positif nya. Keluhan banyak diucap oleh mulut dan pikiran buruk selalu menghantui. Konflik yang datang banyak berasal dari keluarga sendiri, sering sekali muncul kebencian terhadap keluarga sendiri. Rasanya pahit sekali hidup di dunia ini.

Di bulan puasa lalu, kebetulan aku menginap dirumah saudara ku, ketika sehabis sahur yang biasa aku habiskan untuk tidur lagi, kali ini aku dan saudara bercerita tentang masa lalu ketika kami masih kecil, dimulai dari kondisi ekonomi yang buruk, permainan yang paling disukai, hingga keluarga dahulu yang kini sudah tiada. Tiba tiba, paman ku ikut bergabung dan bercerita ketika dia masih kecil dan bagaimana kakek mengurus anak anak nya. Seketika teringat lagi bahwa kakek merupakan orang yang sangat hebat. Kata hebat selalu menjadi gambaran keluarga ku terhadap kakek, termasuk aku juga. Saat percakapan sudah mulai berakhir, paman menyuruh sepupu ku untuk mengambil sesuatu dari lemari nya. Yang diambil merupakan sebuah dokumen, lebih tepat nya jurnal tua yang isinya merupakan diary kakek selama masa hidup nya. Tak kusangka, gambaran kakek yang selama ini selalu dibilang hebat bagiku ternyata memiliki arti yang lebih dalam ketika aku membaca isi tulisan nya.

Saat itu tahun 1947, beliau sedang melakukan patroli di camp Bojongkunci, sekarang sudah menjadi daerah Banjaran. Rasa capek dan lelah masih terasa bekas pertempuran sehari sebelumnya yang menewas kan 5 prajurit, 2 diantara nya merupakan anak buah beliau, 2 mayat prajurit itu diangkut sendiri oleh kakek ku ke tempat yang aman. Serangan diduga berasal dari sebuah meriam tempur yang diletakan di Dayeuhkolot. 2 hari berlalu di Bojongkunci, rasanya perintah turun tanpa henti, beliau di perintah menjaga pos Kiangroke yang berada tak jauh dari Banjaran yang saat itu dipenuhi oleh tentara belanda. Beliau terpaksa mengikuti meskipun pasukan nya tinggal tersisa sedikit karena tak tahan mendengar atasan yang mengeluh “ Ayo pak Olih gerak! Jangan pasukan saya terus”, begitu ucap atasan nya jika di artikan ke bahasa indonesia.

Sesudah maghrib, Beliau dan pasukan nya sudah berada di pos Kiangroke. Semalam itu dipenuhi oleh suara mortar yang meledak di sekitar pos, beliau hanya bisa mengontrol sekitar dan memberikan ucapan menyemangat ke pasukan yang ketakutan nya ditemani udara yang sangat dingin tanpa adanya mantel ataupun perapian. Disinilah tempat dimana kakek ku mendapapat kan bekas luka yang beliau bawa hingga akhir hayat nya, sebuah lekukan cukup besar di jidat yang berasal dari serpihan mortar menembus helm baja nya. Membayangkan nya saja aku sudah stress, dan kakek saat itu umur nya sangat muda sekali, mungkin tidak jauh dari umur ku yang sekarang. Beberapa waktu kemudian beliau dan pasukan nya diperintahkan untuk mudur ke daerah Kampung Cimaung. Namun ketika sampai di sana, pasukan yang lain sudah dahulu pergi meninggalkan ke Gunung Puntang. Tanpa arahan, beliau seketika pergi dengan pasukan nya ke arah yang sama sambil mencari tempat yang aman.

Saat itu beliau berencana untuk pulang berjalan kaki ke rumah orang tua nya. Ditengah perjalanan, lebih tepat nya di kebun teh entah berada dimana. Seketika air mata mengalir ketika melihat kebun teh hijau yang sangat luas, karena teringat istri yang saat itu sedang tidak tahu apakah bertemu kembali. Rasanya ingin menjerit, namun rasa malu terhadap pasukan dan tanggung jawab menjaga mereka menahan pilu kesedihan beliau. Baru saja menikmati cahaya matahari dan pemandangan yang segar, terdengar suara kapal tempur belanda yang disebut nya “Si cungur merah” karena bagian kepala yang berwarna merah dan suka mencari mangsa. Beliau memberi arahan untuk menyebar dan berlindung, sesaat sebelum arahan diberikan, suara mesin sudah berada di atas kepala. Suara bendering senjata mesin menghujani pasukan, untung nya mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan dan berhasil lolos ketika kapal tempur itu melintasi nya.

Beberapa waktu kemudian, dengan pasukan nya yang sudah berada di tempat aman. Beliau berhasil mencapai rumah orang tua nya, dan disambut oleh rasa rindu serta tangis seorang anak kepada orang tua. Saat ditanya ibu nya, kakek saat itu menjawab keluh kesah menjadi seorang prajurit, dan bahwa beliau sudah menikah di tahun 1945 dengan istri pertama nya yang sedang mengungsi di Cipeteuy yang saat itu juga merupakan daerah musuh. Dengan rasa bingung dan mau tak mau, Ibu dan bapak memberi izin dan doa agar misi pencarian istrinya berhasil, dan kembali kesini membawa istrinya dengan selamat

Di tengah perjalanan, beliau menemukan pos tentara belanda KNIL yang sedang berjaga. Kepala mendadak pusing dan bingung harus melakukan apa karena dirinya membawa tanda seorang prajurit Indonesia serta surat surat rahasia negara. Dengan para penjaga yang sudah mulai melihat lihat ke arah jalan utama, setelah berpikir lama beliau memutuskan mengubur seragam serta surat surat berharga nya dan meminjam alat warga untuk menyamar sebagai seorang pedagang. Kakek ku berhasil lolos namun dengan akibatnya kehilangan surat berharga yang tidak pernah ditemukan lagi dan menyebabkan turun pangkat di tahun tahun berikutnya dalam menghadapi Jepang.

Pada akhirnya, setelah pencarian panjang, beliau berhasil menemukan istrinya yang berada di Cipeteuy, sebelum memasuki rumah nya beliau mendengar tangisan seorang wanita yang dibalas kata kata penguat mengenai suami nya yang suatu saat akan datang kembali ke wanita tersebut. Tanpa berpikir panjang dan menahan rasa tangis, beliau tanpa ragu langsung memasuki rumah tersebut dan memeluk istrinya sambil menangis terisak isak. Dan selama beberapa waktu mereka menetap sambil mengungsi dari tentara belanda.

Namun, ketika invasi jepang dimulai, beliau terpaksa harus kembali lagi bertugas menjadi seorang prajurit dan sekali lagi, terpaksa harus meninggalkan keluarga nya yang saat itu sudah dikaruniai seorang anak. Setelah beberapa kali bertempur di banyak tempat, beliau kembali ke kampung nya hanya menemukan mayat istri dan anak nya yang meninggal karena penyakit dan kelaparan. Banyak yang bilang Invasi Jepang 3,5 tahun lebih kejam dari Invasi belanda 350 tahun, kakek merupakan salah satu yang merasakan nya.

Cerita kakek bukanlah cerita yang berakhir baik atau Happy ending, melainkan merupakan sebuah cerita kehidupan nyata bagaimana horror nya perang bagi mata beliau. Potongan cerita diatas hanya sebagian saja dari pengalaman kakek di kehidupan nya menjalani perang. Di halaman pertama terdapat pernyataan bahwa beliau menulis ini bukanlah untuk menceritakan betapa hebat nya menjadi pahlawan, namun sebagai pengingat bahwa yang beliau alami semoga tidak terjadi pada orang lain, apalagi kepada keluarga nya, mungkin itu alasan nya kenapa kakek menghimbau agar anak dan cucu nya dilarang menjadi tentara atau polisi.

Dari jurnal tersebut, aku belajar menjadi pahlawan tidak semudah yang di ucapkan orang orang, tidak ada reward atau hasil yang setara bagi siapapun yang mengalami perang. Aku masih teringat ketika di masa hidup nya, kakek selalu terbangun dari tidur dengan nada kaget sambil mencari senapan nya dan menyuruh keluarga nya meninggalkan kota. Sisa hidup nya dipenuhi rasa takut dan waspada bahwa musuh selalu ada di depan mata. Selama hidup nya ternyata beliau menderita, rindu akan orang tua nya, pencarian istrinya yang berakhir tragis, menyaksikan rekan dan kerabat nya tertembak depan mata dan mengubur nya sendiri, tidur yang tidak nyenyak. Namun dibalik semua itu aku juga belajar bahwa kakek berhasil menempuh semua keburukan itu dan membangun kembali keluarga milik nya. Rasa kuat pantang menyerah menjadi inspirasi bagi siapapun yang hidup di zaman ini agar tidak menyerah, para pahlawan terdahulu mengorbankan jiwa raga nya menciptakan dunia yang lebih baik untuk anak cucu nya kelak di kemudian hari. Dari cerita ini aku menganggap Kakek tidak hanya sebagai seorang prajurit dan pahlawan, namun juga sebagai Sang Pejuang.

(MYR)