KLENTENG SATYA BUDHI : ISTANA PARA DEWA

Diciptakan oleh aroma dupa yang menyeruak ke seluruh ruangan. Diciptakan oleh nuansa merah yang amat kuat hingga ke sudut terkecilnya. Diciptakan oleh patung dewa-dewa yang berbaris sambil menuntaskan tugasnya. Diciptakan oleh umat yang beramai-ramai datang, ingin terhapus dosanya, Klenteng Satya Budhi.

Tepat di pinggir jalan Klenteng, di seberang toko bahan kimia, sebuah papan besi berukuran sedang, menggiring kami untuk masuk. Dibentengi beragam jenis pagar besi dan kayu, serta pepohonan rimbun berbaris menyambut kedatangan tamu-tamunya. Di ujung jalan, tiga bangunan megah yang menjadi saksi bisu perjalan spiritual umat manusia menanti untuk dikunjungi. Klenteng Satya Budhi, merupakan tempat beribadah tiga kepercayaan, Taoisme, Budha, dan Konghucu. Semua mengajarkan tentang sebuah konsep tridharma yang terpampang jelas dalam setiap bentuk bangunannya. Menjelaskan bagaimana tiga keyakinan tertua yang hingga kini masih bertahan di Indonesia berdampingan dalam satu lingkungan peribadatan. Sayang, hanya satu yang bisa kami ceritakan.

Sebuah bangunan elok, berada tepat di antara dua bangunan suci lainnya. Di sekitarnya, enam buah pilar menjulang tinggi. Setiap pasang puncaknya dihiasi dengan patung-patung yang menceritakan dewa-dewa masyarakat China yang mereka yakini, lembut menyentuh langit. Dari jarak dua meter, kami bisa menyaksikan jelas dua buah lukisan megah di bagian dinding luarnya. Gambar dan warnanya tegas menceritakan dewa-dewa di masa lalu, lama sebelum bangunan ini terbentuk. Di antara kedua lukisan tadi, sebuah patung sakral yang diyakini sebagai dewa Guan, gagah menunggangi seekor kuda. Patung tersebut memancarkan aura pembawa kenyamanan, lantaran perannya yang dikenal sebagai dewa pelindung.

Memasuki pintu kayu besar di depan bangunan, kami bisa melihat bagaimana arsitektur bagian dalam disesuaikan dan dirancang demi kemudahan beribadah jemaatnya. Dari sudut kiri hingga kanan dilengkapi dengan cahaya lilin merah yang disusun menyerupai sebuah gunung. Menengok ke sebelah kiri, beberapa patung sembahan agama Konghucu tersenyum menyambut para jemaatnya. Di depannya, beberapa tangkai kayu tipis berwarna merah diletakkan dalam sebuah wadah berbentung tabung, memudahkan para jemaat untuk mengambilnya. Para jemaat berdo’a kepada para dewa sambil terus berjalan membelakangi sebuah kuali besar berwarna emas yang disebut Youlou, terletak persis di bagian tengah ruangan.

Setelah selesai berdo’a, para jemaat akan menghadap ke Youlou, merapatkan kedua tangan dengan dupa dalam genggamannya. Kembali berdo’a, memohon kebaikan dan keberkahan sepanjang tahun bagi mereka dan keluarganya. Setelah rampung segala prosesnya, mereka kemudian membakar dupa dan berjalan keluar, meletakkan dupa-dupa tersebut dalam sebuah kuali yang tercipta dari batu. Pasir halus mengisi kuali hingga hampir penuh. Tujuannya guna menyangga semua dupa agar dapat berdiri tegak menghadap dewa dengan harapan do’a mereka cepat terkabul.

“Tidak banyak tempat yang bisa saya dan keluarga jadikan tempat berlindung dari roh jahat sekaligus pengampunan dosa. Tidak ada tempat yang lebih layak bagi para dewa selain disini.” Ujar Lili, salah seorang jemaat sekaligus pengurus disini. Pria paruh baya itu berpendapat bahwa tempat ini layaknya masjid agung bagi para muslim, tempat dimana kita bisa membawa cerita yang tidak bisa kita ceritakan pada sesama.

Baik ornamen bagian dalam dan luar bangunan, keduanya memiliki kekuatan magis bagi mereka yang percaya. Tuhan, dimanapun Dia berada, manusia akan tetap menyiapkan tempat untuk menyambut-Nya. Klenteng ini menjadi salah satu bukti cinta makhluk kepada Tuhannya.

Setiap warna dan rupanya mendongengkan sebuah kisah kepercayaan di masa lalu hingga masa yang akan datang. Berdiri selama 163 tahun tidak membuatnya jenuh membagikan sebuah cerita. Jemaat demi jemaat datang kepadanya, menyampaikan rasa suka dan dukanya dalam balutan do’a. Jika jenuh, mungkin ia tidak akan memberikan sebuah rasa senyaman ini, bagai pelukan selamat datang dan kecupan selamat jalan. Jika jenuh, mungkin ia tidak akan membiarkan satu jemaat pun merasakan lega tiap kali mengunjunginya. Ia tidak keberatan jika semua jemaat menceritakan dan meninggalkan dosa mereka disini. Bahkan jika suatu saat mereka datang kembali dengan dosa yang lebih tamak, ia akan tetap berdiri disini, di Klenteng Satya Budhi, Istana Para Dewa.

(JAM&ZAR)