Tukang Jahit Pahlawanku

Sejak ia lahir pada tahun 1976 di salah satu desa yang berada di Kabupaten Purwakarta, kelahirannya telah membawa kebahagiaan yang teramat sangat ke dalam sebuah keluarga yang telah dua kali ditinggalkan oleh bayinya yang baru berumur beberapa hari. Ia terlahir setelah orang tuanya dua kali ditinggalkan oleh sang bayi yang baru berumur beberapa hari. Ia diberi nama Epit Muliantini. Sejak kecil ia tak pernah merepotkan orang tuanya, dengan adik-adiknya pun ia sangat akur dan sering mengalah. Ia merasa dirinya sudah besar, tidak seharusnya egois, dan sebagai kakak ia merasa harus mau mengalah demi adik-adiknya.

Ia hidup seperti layakanya anak seusianya. Ia bermain Bersama teman-temannya sepulang sekolah, membantu orang tua saat sedang kerepotan, dll. Ia dikenal sebagai murid yang pintar, juara umum di SD hingga SMK. Namun sayangnya orang tuanya tak punya cukup uang untuk membiayai kuliahnya. Sehingga pada akhirnya ia memutuskan untuk bekerja dulu di salah satu pabrik boneka milik Korea. Ia bertekad ingin kuliah karena ia ingin memiliki pekerjaan yang lebih mapan, sehingga bisa membantu menafkahi keluarganya.

Setelah kurang lebih satu tahun bekerja, akhirnya ia memiliki biaya yang cukup untuk melanjutkan pendidikannya. Ia akhirnya mengambil program D1 di salah satu kampus yang ada di Bandung (sekarang namanya UNIKOM). Ia kost berdua dengan salah satu mahasiswa baru juga bernama Nenden yang berasal dari Subang. Selama di Bandung, ia juga menjadi anak yang baik, selalu memilih masak sendiri dibandingkan harus membeli makanan diluar, ia pun lebih memilih pulang ke kosan sembari menunggu jam kuliah selanjutnya daripada harus keluyuran atau pun ikut-ikutan nongkrong. Tak jarang pula tempat kostnya dijadikan basecamp oleh teman-temannya sembari menunggu jam kuliah selanjutnya yang jaraknya cukup Panjang.

Kisah cinta yang dialami oleh Epit ternyata cukup menyakitkan. Ia banyak disukai pria di kampusnya, namun ia tak ingin mengganggu kuliahnya dengan cinta-cintaan sehingga banyak laki-laki yang ia tolak. Tak seperti teman sekamarnya yang selalu di apelin setiap malam minggu oleh sang pacar. Namun, Epit pun pernah suka dengan salah satu pria yang satu bis dengannya. Pria tersebut seorang tentara, mereka berkenalan saat keduanya sedang menaiki bis yang sama. Pria tersebut juga menanyakan alamat kost Epit. Setelah perkenalan di bis itu, pria tersebut sering mengirimi surat kepada Epit. Namun, setelah satu bulan menghilang tak ada surat dari pria tersebut. Tiba-tiba pria tersebut mengirimi Epit surat, dan ternyata surat tersebut berisi kabar bahwa dirinya telah menikah dengan wanita lain. Dari situ Epit sudah enggan mencampuri kehidupannya dengan percintaan, ia ingin fokus dengan kuliah dan karirnya di masa mendatang.

Akhirnya pada tahun 1997 Epit lulus kuliah dengan nilai yang baik. Rencana selanjutnya Epit ingin bekerja. Namun ternyata takdir berkata lain, Epit dilamar oleh teman dari suami teman masa kecilnya Epit. Usianya terpaut cukup jauh, yaitu 21 tahun. Epit pada saat itu masih berusia 21 tahun, dan pria tersebut berusia 42 tahun. Pria tersebut lahir di Palembang, Sumatra Selatan namun ia bekerja di perusahaan pengeboran minyak yang bertugas di Laut Jawa. Pria tersebut belum menikah lantaran ia fokus dengan pekerjaannya sebagai karyawan. Namun, saat melihat Epit, pria tersebut menyukai Epit, kemudian ia langsung berbicara kepada bapak Epit. Setelah pria tersebut pulang, Epit berbicara kepada bapaknya bahwa ia tak ingin menikah dengan laki-laki tersebut, di samping usianya yang terpaut jauh, Epit juga ingin menggapai cita-citanya yaitu bekerja. Namun, bapaknya marah, sehingga membuat Epit tak bisa berkata-kata lagi dan mau tidak mau ia menerima lamaran tersebut. Takut durhaka, pikirnya.

Di awal pernikahannya, Epit tinggal di salah satu kontrakan yang berada di daerah Cijantung, Jakarta Timur bersama suaminya. Ia sering ditinggal sendiri di kontrakan, lantaran suaminya harus bekerja. 2 minggu di laut, dan 1 minggu dirumah. Namun, kadang adik Epit yang ada di purwakarta sering datang dan menginap di kontrakannya sehingga ia tidak terlalu kesepian. Setahun kemudian akhirnya Epit dan suaminya pindah ke salah satu kontrakan yang ada di Purwakarta. Tempatnya tak jauh dari rumah orang tua Epit. Tak lama, akhirnya Epit pun mengandung. Setelah 9 bulan akhirnya Epit melahirkan tanpa didampingi suami, hanya adik-adik dan orang tuanya saja, karena suaminya sedang ada di laut untuk bekerja. Jadi yang mengadzani saat bayinya lahir adalah, ibunya Epit.

Setahun berlalu, kini anaknya telah menginjak usia 1 tahun. Epit masih mengontrak di tempat yang sama. Banyak tetangganya yang sering mengusik dirinya. Bahkan yang punya kontrakan pun sering mengusirnya secara tidak langsung, padahal Epit tidak pernah telat membayar uang sewa. Karena sering sakit hati, akhirnya dengan tabungan seadanya, Epit dan suami nekat membangun rumah tak jauh dari kontrakannya tersebut. Setelah dua bulan selesai dibangun, Epit dan keluarga kecilnya pindah ke rumah baru.

10 tahun berlalu, kini anaknya sudah duduk di bangku kelas 5 SD. Suaminya pun kini sudah diangkat menjadi seorang kapten kapal (nahkoda) di perusahaan tempat suaminya tersebut bekerja. Kini kehidupan ekonominya sudah mulai semakin membaik. Banyak beberapa barang yang sudah dapat dibeli seperti alat transportasi, dll. Anaknya pun sering mendapatkan peringkat pertama di sekolahnya, menjadi suatu kebahagiaan bagi Epit. Namun, Epit tak hanya berdiam diri menikmati hidup sebagai ibu rumah tangga. Ia pun memanfaatkan momen tersebut untuk ikut kursus menjahit. Hingga akhirnya ia lulus dan diangkat menjadi salah satu pengajar di tempat tersebut.

Setelah 4 tahun berlalu. Anaknya sudah menduduki bangku kelas 10 SMA. Suaminya sudah merasa lelah bekerja, karena sering bertengkar dengan rekan kerjanya yang sama sama keras kepala dan sering saling senggol. Dan di usia yang sudah tidak lagi muda, suami Epit bersikeras untuk berhenti dari perusahaan tersebut. Namun sayangnya sertifikat nya ditahan sehingga mau tidak mau suaminya tetap harus bekerja hingga habis masa kontraknya, yaitu saat ia sudah berusia 60 tahun.

Epit pun berhenti menjadi guru menjahit, ia kini lebih memilih membuka tempat jahit di rumah. Banyak yang datang ke rumah untuk menjahit apalagi saat bulan ramadhan yang datang ke rumah untuk menjahit pakaian lebaran sangat banyak, hingga kadang ia harus lembur tiap hari karena ia menjahit hanya sendiri. Ia tidak mempekerjakan orang lain karena takut tidak bisa memberi gaji yang besar dan takut jahitan orang tersebut tidak rapi.

Sudah cukup lama Epit menjadi tukang jahit, kini orang yang sering mengusiknya saat masih ngontrak dulu datang ke rumah untuk menjahit juga. Dia datang dengan ramah tidak seperti saat Epit masih mengontrak dulu. Namun Epit masih memperlakukannya dengan ramah dan rendah hati. Biar saja dia yang malu, katanya.

Saat anaknya menginjak kelas 12 SMA, suami Epit kini pensiun dari pekerjaannya karena sudah menduduki usia 60 tahun. Akhirnya mau tidak mau keluarga nya pun harus bisa berhemat. Meski memiliki tabungan yang cukup besar, namun tetap saja uang tersebut jika dipakai terus menerus tanpa kendali akan cepat habis. Mengingat anaknya pun akan segera memasuki bangku perkuliahan serta biaya bimbel nya selama ini, dll.

Hingga akhirnya masa SMA telah usai. Ada suatu masalah yang mengharuskan mereka membangun rumah di tempat lain. Tiga bulan pengerjaan rumah tersebut, akhirnya mereka pindah ke rumah yang lebih besar dan luas. Anaknya pun kini telah diterima di UPI lewat jalur mandiri.

Epit bersyukur semua telah terlewati dengan baik, meski sering kali mendapatkan masalah, namun pada akhirnya masalah tersebut bisa dilaluinya. Hingga kini meski EPit dan keluarganya tetap harus berhemat demi kelangsungan pendidikan sang anak. Tapi dengan berkat jerih payahnya dalam menjahit, keluarganya masih bisa makan dengan layak dan tidak pernah kelaparan.