SYAHDU BERADU DI VIHARA CORAK THAILAND

Tenteram. Kesan pertama sejak tiba di Vihara Vipassana Graha, Jalan Kol. Masturi Lembang, Bandung, Jawa Barat. Bangunan megah bermandikan rona emas, rupawan memanjakan mata. Pepohonan di setiap sudut, menciptakan kesejukan nan asri. Wewangian dupa setelah dibakar ikut terbawa angin, mendobrak ke dalam rongga penghidu. Tak peduli singgah serupa orang awam, pun sebagai Buddha yang taat ajaran. Syahdu. Tatkala menyaksikan beberapa insan yang hendak mengadu, mengeja do’a dalam sembahyangnya.

Vihara yang mengadopsi arsitektur Thailand ini begitu luas kala dipijaki. Pun lengkap dengan keberadaan dua patung gajah putih sebagai identitas Negara Thailand, menghiasi area belakang vihara. Di beberapa tempat, saya dan rekan jua menampaki bendera Thailand bersanding dengan bendera pusaka, Indonesia. Begitu gagah berkibar di tengah terik terang itu. Memang, sejarah masih bisa kita kenang. Keberadaan vihara ini bukan semata-mata diciptakan tanpa tujuan. Bangunan mewah yang dibalut dengan nuansa putih ini adalah hasil cipta dari kegigihan, jerih payah dan ide umat Buddha Indonesia-Thailand, sejak dulu kala.

Beginilah ciri khas tempat peribadatan umat Buddha. Meditasi demi meditasi yang dilakukan, memang perlu suasana yang khidmat. Begitu pula dengan agenda kebaktian di pagi atau sore hari. Terhindar dari kebisingan jalan raya, setiap jengkal bangunan yang terjaga dengan layak, hal tersebutlah yang akan menciptakan kekhusyukan kala beribadat, memuja patung Sang Buddha. Maka, bersembahyang lah mereka di depan altar, seraya lilin dinyalakan pun saat dupa mulai dibakar.

Suddhasilo, salah seorang bhikkhu yang ikut merawat tempat suci ini. Dengan kepala plontos, lengkap dengan tiga balutan jubah kuning, pembawaannya membuat suasana begitu tenang. Dengan tujuan ingin menelisik tentang Buddha di vihara ini, Bhikkhu Suddhasilo menjawab rasa penasaran kami seraya sesekali memejamkan matanya. Sang bhikkhu menjelaskan tiga aliran utama di dalam agama Buddha, yakni Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. Mengikuti pedoman yang disebarkan oleh guru dari Negeri Gajah Putih, Vihara Vipassana Graha menganut aliran Theravada. “Walaupun terdapat tiga aliran dan perbedaan di tata cara ibadah juga pakaian tradisinya, namun ajaran kami tetap sama, ajaran sang Buddha”, tegas Bhikku Suddhasilo

Bermaksud menjelajahi area vihara, mata kami terpaku akan daya tarik yang tersembunyi di dalam gedung Dhammasala. Patung-patung kecil Buddha yang disebut-sebut berjumlah sepuluh ribu berjajar rapih di setiap sisi dalam gedung, menunjukkan keelokannya. Tinggi maupun luas ruangan tidak menjadi rintangan, setiap sudut kaca yang menjaga patung kecil itu tetaplah bersih. Seakan belum cukup, di tengah ruangan masih terdapat patung sang Buddha berukuran lebih besar. Dijadikan altar dan tempat jemaatnya mengeluhkan dunia dalam do’a-do’a.

Di sisi luar gedung, tujuh patung Buddha dengan berbagai posisi seakan menyambut kedatangan kami. Tertanda di setiap patung, nama-nama hari mulai dari Senin sampai Minggu. Teringat bhikkhu berkata, bahwa ketujuh sikap melambangkan tujuh minggu setelah Buddha mencapai penerangan agung. Bahwa sang Buddha masih bermeditasi di dekat pohon Bodhi, dengan posisi berdiri, duduk, hingga berbaring.

Terbawa rasa penasaran lebih, langkah kaki kami terhenti lagi di salah satu bangunan, sempat terbuai dengan kecantikannya. Warna putih-emas yang membalut arsitektur bangunan tersebut menambah kesan glamor. Bhikkhu Suddhasilo menyampaikan bahwa pengambilan warna putih tidak mengisyaratkan apapun. Bangunan yang begitu mewah tersebut merupakan lima candi, dinamakan Candi Maha Panca Bala. “Terdiri dari empat candi kecil di empat penjuru, dan satu lagi sebagai candi utama. Keberadaan candi ini bisa dipakai untuk meditasi dan sembhayang juga”, ujar bhikkhu menambahkan. Dikenal bak candi yang berasal dari lima kekuatan, keberadaannya memang layaknya kekuatan; daya tarik bagi kami.

Karena begitu kagum dengan setiap ukirannya, kami menghabiskan banyak waktu untuk memutari candi tersebut. Banyaknya lukisan menyiratkan suatu kepercayaan bagi umat Buddha. Tentang hukuman demi hukuman yang menjadi keyakinan, tentang peringatan untuk selalu patuh dalam ajaran, dengan harapan semua umat akan selalu berjalan dalam satu barisan. Tentang mangkuk tempat menyalur derma, dan tentang koin berkarat yang menumpuk mesra. Biarlah sang candi menjadi saksi, bahwa kehidupan adalah tempat refleksi diri, bahwa kehidupan adalah tentang berbagi.

Biarlah syahdu mulai beradu. Biar adanya vihara turut merekam do’a. Tiba serta sanak saudara atau pun seorang diri, singgah bak insan yang tengah berbahagia atau putus asa, semata untuk bersembahyang pada Sang Buddha. Memang beruntung, saya dan rekan menyaksikan langsung bagaimana langkah kaki para jemaat berjalan dengan pasti, bagaimana jemari-jemari itu mengepal penuh arti. Terbakarnya dupa-dupa, disertai pula dengan angan, harapan, mungkin jua segelintir penyesalan. Khusyuk. Mengadukan kebahagiaan dan keluhan dunia, memohon perubahan diri kepada yang bahari. Maka, sama halnya dengan ajaran agama-agama lain, Buddha mengajarkan untuk tidak larut dalam kehidupan dunia yang fana. Sebab, manusia seringkali terjebak dalam ukuran-ukuran kebahagiaan dunia yang rumit, pun pembendaharaan dunia yang menyilaukan mata. Itulah mengapa perlu adanya keseimbangan dalam segi spiritual. Dengan akhirat yang senantiasa berdegup, kita mesti menjaga detak jantungnya-bersembahyang. Dengan keyakinan dan kepercayaan umat Buddha terhadap-Nya, Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta, semoga semua makhluk hidup berbahagia.

(FRS & BP)