Cahaya Dibalik Kegelapan

Wyata Guna Bandung, Panti Sosial Bina Netra yang menjadi saksi bisu bagi ratusan tunanetra untuk memulai kehidupan baru mereka. Banyak orang yang memandang sebelah mata kaum Tunanetra seakan mereka lemah tak berdaya. Namun di tempat inilah mereka mendapatkan harapan untuk hidup seperti layaknya orang-orang normal. Bimbingan sosial, pemberdayaan, asah mental dan psikososial menjadi bekal yang diberikan kepada warga binaan tuna netra agar mereka dapat survive dalam menjalani kerasnya hidup. Kegiatan pemberdayaan seperti merajut, massage training, pengenalan media komunikasi, mengaji, olahraga, pramuka dan pelatihan musik kini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka. Ditengah keterbatasan yang ada ternyata banyak kelebihan yang mengiringi langkah-langkahnya dan mereka pun memiliki mimpi-mimpi yang luar biasa. Di tempat inilah mereka diberikan bekal dan keterampilan untuk mewujudkan impian mereka.

Awal Mula Wyata Guna

            Awal mula tempat ini bernama Yayasan Rumah Buta Bandung pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1942. Kemudian yayasan ini diambil alih oleh pemerintah, lalu pada masa kemerdekaan hingga tahun 1963 pengelolaan Yayasan Rumah Buta Bandung diserahkan kepada warga pribumi dan diserahkan kepada Departemen Sosial berganti nama menjadi Wyata Guna.

            Yayasan ini berlokasi tepat di depan Gor Pajajaran. Panti yang didirikan pada 1901 tersebut berdiri di atas tanah seluas 4,5 hektare. Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna Bandung lahir atas keprihatinan seorang dokter Belanda terhadap kaum pribumi yang tunanetra. Dokter Belanda tersebut bernama Cha Westhoff. Sampai sekarang, tempat yang mempunyai makna wadah atau tempat yang berguna tersebut menjadi tumpuan para kaum tunanetra. Di sini, aneka fasilitas dan pelatihan terbilang lengkap. Masyarakat umum pun tak sedikit yang ikut memberikan sumbangsih, dari sumbangan, pemikiran, hingga sumbangan tenaga.

Mereka Juga Punya Mimpi

 Di tengah gelapnya dunia, dan keterbatasan orientasi mobilitas, mereka masih memiliki semangat yang besar untuk mengejar impian yang mereka miliki. Dengan belajar giat, dan mensyukuri apa yang telah mereka miliki.

 Miftah, salah satu penghuni asrama kesturi yang berusia 11 tahun memiliki impian besar menjadi seorang dosen. “Saya ingin menjadi dosen matematika seperti Prof. Didi”. Ujar Miftah. Alasan ia ingin menjadi seorang dosen matematika adalah karena pelajaran tersebut merupakan pelajaran yang paling ia sukai. Selain impiannya yang besar Miftah juga merupakan anak yang cerdas dan kritis. Ia mengetahui isu terkini. Tidak hanya Miftah, anak-anak lain pun memiliki cita-cita yang sama tingginya. Seperti Bayu yang duduk dikelas XI B, bercita-cita ingin menjadi dosen sastra.

Begitupun dengan Kak Abdul yang berusia 27 tahun, beliau memiliki keterampilan melantunkan ayat suci Al Quran dengan sangat baik. Awalnya sejak lahir Kak Abdul dapat melihat secara jelas. Namun, seiring berjalannya waktu, penglihatan Kak Abdul semakin menurun dan saat usianya 17 tahun tepat kelas 3 SMA, beliau tidak dapat melihat lagi secara jelas. Padahal, beliau berniat untuk melanjutkan jenjang pendidikannya ke dunia kuliah dan mengambil jurusan dakwah karena cita-citanya ingin menjadi pendakwah. Semenjak mengalami kebutaan, beliau mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikan, “Saya sempat mengalami depresi berat dan tidak mau keluar kamar bahkan ada teman-teman saya yang mengalami nasib yang sama ingin bunuh diri.” Ucap Kak Abdul.  Untungnya, masih ada orang-orang terdekatnya yang memotivasi dirinya untuk tidak menyerah dan tetap percaya diri, salah satu yang menjadi motivasi dirinya untuk tetap hidup ialah istri dan anaknya. Akhirnya Kak Abdul mendaftarkan diri ke Wyata Guna untuk mendapatkan pemberdayaan dalam pendidikan dan keterampilan. Selain itu, Kak Abdul tetap belajar mendalami ilmu agama dengan mengikuti kegiatan pengajian di luar. Saat ini Kak Abdul lebih percaya diri karena telah memiliki kemampuan yang ia dapatkan di Yayasan Wyata Guna.

Mengabdi, Tak Lekang oleh Waktu

            Yang tak luput dari perhatian kami yaitu Ibu Ismi, beliau merupakan Ibu pengasuh Asrama Kenari. Sudah hampir 26 tahun beliau mengabdikan hidupnya untuk anak-anak tunanetra Wyata Guna. Awal mula Ibu Is terjun ke dunia peksos ialah karena hatinya teketuk ketika melihat orang tunanetra yang tersesat. Orang tunanetra yang ibu Is dulu pernah lihat hampir jatuh ke sungai, karena hal tersebut Ibu Is berdoa kepada Allah SWT untuk diberi kesempatan membantu orang-orang yang memiliki kekurangan fisik. Akhirnya, doa tersebut dikabulkan, sekarang Ibu Is menjadi pengurus di Wyata Guna dan menjadi pembimbing di asrama Kesturi.

Pekerjaan seperti Ibu Is memang tidak mudah, disamping mengurus anak-anak tunanetra, beliau juga harus mengurus keluarganya.  Banyak pahit manis yang pernah beliau lalui selama menjadi pembimbing, yang menjadikan ia tetap bertahan ialah karena rasa kepedulian tinggi yang ada pada dirinya.

Dari tempat ini banyak pelajaran yang dapat diambil, kegigihan para penyandang tuna netra yang tetap semangat menjalani hidup meskipun penuh dengan keterbatasan menjadi sebuah tamparan keras bagi orang-orang di luar sana yang masih mengeluh dengan hidup meskipun mereka dianugerahi fisik yang sempurna. Senyum kebahagiaan tidak pernah hilang dari wajah manis mereka. Mereka mengajarkan bahwa kekurangan bukanlah penghalang bagi mereka untuk sukses. Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, jika kita terus berusaha dan berdoa, semua pasti ada jalannya. Seperti para penyandang tuna netra di Wyata Guna. Di tempat inilah, kegelapan yang selama ini mereka rasakan akan berubah menjadi secercah cahaya yang selama ini mereka rindukan. Rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa membuat perjalanan hidup mereka berwarna walau alam semesta tak pernah mereka lihat secara nyata.

Language