Pahlawan Pangan: “Merdeka Meski Tanpa Nasi”

“Teu Boga sawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu bisa nyangu asal bisa dahar, teu bisa dahar asal kuat” 

Hidup ditengah pegunungan yang menjulang tinggi tak menyurutkan semangat mereka untuk berladang. Tanjakan tinggi, terjal dan jarak yang cukup membuat mereka lelah, tetap mereka lalui demi memanen setitik harapan. Hidup ditengah hiruk pikuk dunia perkotaan dengan manusia-manusia didalamnya yang semakin hari semakin menghabisi alam tak membuat mereka lupa atas apa yang telah alam berikan. Rasa terimakasih dan syukur mereka tunjukkan dengan merawat alam itu sendiri karena sejatinya alamlah yang menghidupi manusia. Seiring pergerakan zaman modern dimana munculnya berbagai gedung pencakar langit yang berdiri tegak diatas lahan subur yang seharusnya ditanami bahan pangan membuat hati mereka miris dan berfikir bagaimana jika tidak ada lagi lahan untuk ditanam. Inilah salah satu alasan mereka untuk tetap pergi ke ladang. Rasa lelah, letih yang tergambar dari kerut-kerut wajah mereka tak mematahkan semangat mereka demi sesuap rasi.

Mereka adalah masyarakat adat di Kampung Cireundeu yang kini namanya sudah terdengar hingga ke penjuru dunia. Cireundeu berasal dari kata “Ci” yaitu Cai atau air dan “Reundeu” yang berarti tanaman obat. Cireundeu merupakan desa yang lahir dari ditemukannya air dibawah pohon rendeu, maka disebutlah Desa Cireundeu. Desa yang terletak di lembah Gunung Kunci, Leuwigajah Cimahi ini tak hanya memiliki kearifan lokal namun juga memiliki ketahanan pangan yang sudah diakui. Lewat sebatang singkong yang mereka tanam tak hanya mampu menghidupi mereka namun membuat mereka mandiri dan tidak tergantung oleh pemerintah. “Karena kami ingin merdeka lahir batin dan mengurangi beban pemerintah” ujar Abah Widi sebagai pemangku adat di kampung Cireundeu. Beras sudah mereka tinggalkan sejak tahun 1918 dan menggantinya dengan umbi-umbian sebagai bahan makanan pokok, namun tibalah pada tahun 1924 mereka mulai menggunakan Singkong sebagai bahan pokok pengganti nasi.

Para leluhur desa Cireundeu ini memiliki ilmu sawangan yang mampu menerawang ke masa depan bahwa akan terjadinya krisis pangan akibat dari keserakahan manusia itu sendiri. Oleh sebab itulah hidup merdeka lahir batin yang ingin mereka capai dilakukan dengan melatih seluruh warganya untuk tidak tergantung pada pangan beras, maka mereka memilih singkong sebagai bahan pokok utamanya. Selain mengikuti para leluhur mereka juga singkong merupakan bahan makanan yang mudah ditanam. Petatah-petitih yang mereka terapkan disini begitu kental demi menjaga etika agar nilai budaya pangan pokok singkong ini bisa terus terjaga sampai masa yang akan datang. Sampai hari ini mereka tetap menghindari beras dan memakan Rasi (Beras Singkong).

Tak sedikit orang yang bertanya mengapa singkong yang mereka pilih diantara bahan pokok lainnya, salah satu alasannya singkong memiliki kandungan gula lebih sedikit dibandingkan dengan kadar gula pada beras. Proses yang dilalui singkong untuk menjadi sebuah rasi sangat sederhana. Pertama, singkong yang didapat dikebun di parut, kemudian digiling dengan mesin, setelah digiling, singkong diperas, dan di endapkan, setelah diendapkan kemudian di jemur, setelah dijemur digiling kembali dan jadilah rasi. Rasi masih dalam bentuk bahan baku, sementara untuk menyerupai nasi, rasi haruslah direndam air terlebih dahulu, kemudian dikukus dalam waktu lima menit dan barulah rasi sudah siap untuk dimakan sebagai pengganti nasi.

Tak hentinya mereka dalam membuat inovasi, selain menciptakan rasi, mereka juga membuat tepung singkong sebagai pengganti tepung beras yang nantinya diolah menjadi kue kue seperti egg roll, cireng, lidah kucing, opak, dan makanan lainnya. Alasan lainnya mengapa mereka memilih singkong yaitu semua bagian singkong bisa diolah. Termasuk kulit singkong yang biasa kita buang mereka sulap menjadi dendeng yang biasa digunakan sebagai lauk untuk makan bersama rasi, dendeng ini seperti pada umumnya hanya saja ini terbuat dari kulit singkong yang kemudian dicampur dengan ikan dan dipadukan dengan rasa pedas yang semakin memanjakan lidah setiap orang yang mencicipinya.

Besar harapan mereka agar tak hanya mereka yang menjaga alam dan merdeka dari pangan tapi masyarakat lain pun melakukan hal yang sama. Jalan terbuka bagi mereka yang datang dan mau mempelajari budaya mereka.

An/CN/dkk

Language